Hunshin-Keramas

“Kamanhi, Kamanhisseo!” Heeshin menepuk gemas pundak Oh Sehun yang tengah ia keramasi di wastafel. Pagi ini, kegiatan bermula di kamar mandi. Dimana Oh Sehun duduk di bangku yang sudah disiapkan istrinya di depan wastafel. Ia mendongak, menyandarkan kepalanya di pinggiran wastafel sementara Heeshin mulai menyampo rambutnya. Cedera yang dialami tangan kirinya sedikit menyusahkan gerak-gerik Oh Sehun kali ini. 


“Tidak usah ditutupi begitu mukanya, memang aku mau siram mukamu, ah jinjja.” si Tukang Keramas menggerutu tanpa menghentikan gerakan tangannya menggosok rambut dan terkadang memijat kulit kepala Sehun. Rasanya kesal, kemudian cemas, kemudian kembali ke kesal lagi lalu bercampur jadi satu, saat melihat Oh tampan kesayangannya ini pulang larut dengan tangan kiri dibalut perban. 


“A, a! Nuna menarik rambutku!” pekik Sehun kesakitan lalu berusaha menegakkan leher namun ditahan Heeshin. Yang mengeramasi melirik tangannya yang berbusa, benar saja… Rambut Sehun terselip ke dalam cincin yang ia kenakan. 


“Tidak sengaja ah,” balas Heeshin yang sekarang mulai menyalakan kran. Oh Sehun masih tidak bisa diam. Karena pada dasarnya anak ini hanya bisa bertahan duduk tenang selama tiga detik. (itu rekornya saat Sekolah Dasar dulu katanya) 


“Yak, kamanhi, kamanhi!” Jung Nuna tercintanya kembali memperingatkan Oh Sehun. Dan mau tak mau ia menurut agar cepat selesai, lehernya sudah kram. Dan baru saja Sehun mencoba rileks, tiba-tiba Sagwa mendekat ke kakinya, menjilat jari kaki kemudian telapaknya membuat Sehun kembali bergerak kegelian. 


“Diam Oh Sehun! Ohastagaaa!” 


“Sagwa nih, bermain dengan-akh-Sagwa-yah geumanhae, pfuahahaha,” 


……………………. 


“Kenapa melihatku begitu? Nuna marah padaku?” tanya Sehun cemberut pada Heeshin yang kini sudah duduk bersamanya di sofa ruang tengah. Perempuan itu masih sibuk dengan rambut Sehun. Kalau tadi ia berkecimpung dengan Shampo dan air, sekarang yang dipegang tangannya adalah hairdryer yang tengah menyala. 


“Menurutmu? Kau pulang terlambat, tanpa kabar, lalu begitu sampai rumah keadaanmu begini. Neon cheongmal nappeun saekkiya!” sambar Heeshin yang kemudian dengan kasar mengacak-acak rambut Sehun, atau mungkin lebih menjambak. 


“A! A! Appeo! Ya ya! Kau tidak boleh begini, ini kekerasan! Aegi-yah, jangan lihat ibumu.” lalu tangan Sehun beralih ke perut Heeshin, menempelkan kedua telapaknya disana, maksudnya sih menutup mata Oh kecil. 


“Kau minta aku supaya jangan sakit, kau sendiri? Hoah…orang ini betul-betul,” kembali Heeshin mengomel namun tangannya tak henti mengarahkan hairdryer ke rambut basah suaminya yang tengah bersungut-sungut. 


Klik. 


Pengering rambut berwarna silver itu dimatikan. Tak ada lagi suara bising yang mendominasi. Hanya suara jarum jam dan keletak dari kabel yang digulung Heeshin. 


“Mianhae,” ucap si Oh tersayang lalu meraih pundak Heeshin yang memunggunginya lalu memeluknya dari belakang. Jung Heeshin berhenti sejenak, tadinya ia mau langsung mengembalikan Hairdryer ke kamar namun urung. 


Ayolah, dia tak pernah bisa sungguhan marah pada manusia satu ini. 


“Maaf sudah buat cemas,” lanjut Sehun lagi. Heeshin tak menjawab, bibirnya mengatup rapat dan tampak berkedut. Ia melirik Sehun yang sudah mendaratkan wajahnya di pundak Heeshin. 


“Nappeun neom.” umpatan lirih meluncur dari si Jung. Sehun menoleh sekilas, dia tau betul kalau hawa di sampingnya ini cengeng. Lebih-lebih kalau menyangkut dirinya. Sambil tersenyum sebelah tangannya yang tak dibalut perban mengitari kepala Heeshin lalu berhenti di matanya. Sehun menutup kedua mata Heeshin dengan telapak tangannya sambil pelan-pelan menarik kepala sang teman hidup agar menoleh. 


“Uljjimara, nan gwenchana,” bisiknya sungguh-sungguh lalu menempelkan bibirnya pada bibir yang sudah terlalu familiar dengannya ini lalu mengecupnya dalam-dalam. 


Ini bukan tentang ciuman yang bisa menghapus amarah. Tapi semuanya tentang Oh Sehun. Oh Sehun yang punya kendali khusus atas Jung Heeshin. Oh Sehun yang bisa membuat Heeshin ingin meninju dan menciumnya di saat bersamaan. Oh Sehun yang bisa membuat Heeshin menangis lalu detik berikutnya justru membuat terpingkal. 


Oh Sehun yang segala-galanya untuk Jung Heeshin. 


Fin. 

A Treasure Named Oh Sehun

A, annyeong haseyo… Jung Heeshin imnida! Aku separuh demam dan kepalaku mau pecah, suhu badanku lumayan tinggi dan sejak tadi mataku terus berair. Ah rasanya seperti syuting drama ketika airmataku bergulir satu-persatu ahahaha! Harusnya aku sudah tidur sih, tapi entah kenapa malah tidak bisa tidur.  Keurigo chakkammanyeo, lihat pria yang sedang terlelap di sampingku ini?

 

Matjjyeo! Dia Oh Sehun, laki-laki yang usianya dua tahun lebih muda dariku dan begitu saja terjun ke dalam hidupku. Omong-omong, terimakasih Tuhan sudah berikan manusia aneh minim ekspresi ini padaku, sebagai suamiku. Aku tak tahu apa yang ada dalam dirinya, hanya saja setiap memandangnya, oh atau bahkan sekedar memikirkannya, aku sudah bahagia. Bahagia…sekali.

 

Mungkin memang begitu mekanismenya, kau mencintai seseorang hingga apapun yang berkaitan dengannya itu bisa menjadi sumber kebahagiaan, jadi alasan utama kau tersenyum sendiri di tengah keramaian. Dan itu terjadi padaku, iya… dan bocah ini tersangka utamanya. Hari itu, pertama kali aku melihat wajah datarnya saat ia membangunkanku yang tertidur pulas di bis dan melewatkan perhentianku. Aku tak pernah menyangka kedepannya akan seperti ini, ah maksudnya…aku tak pernah yakin akan sebuah hubungan, atau lebih tepatnya tak yakin dengan ujungnya. Mungkin karena sebelum-sebelumnya aku terhitung orang yang tak beruntung dalam hal semacam itu. (Asmara, aku malu mengatakannya).

 

Dan ini bukan saatnya membahas masa lalu. Jadi kita kembali ke topik utama, membicarakan Oh Sehun yang terkadang saat tidur suka menggeram kemudian giginya bergemeretak. Ia takkan bisa memulai tidurnya jika tak ada sesuatu yang dapat ia peluk sebelumnya, dalam kasus ini akulah yang selalu menjadi bulan-bulanannya. Tapi jika kami sedang bertengkar, maka ia akan memeluk bantal, memunggungiku. Dan aku, melakukan hal yang sama. Haha!

 

Musim semi tahun lalu, adalah momen tak terlupakan. Aku dibuat nyaris gila olehnya. Iya dia, Oh Sehun yang sekarang sudah terlelap damai menghadap kearahku. Siang itu, segala macam pikiran jelek berdesakkan di kepalaku, masing-masing dari mereka menyuarakan hal-hal buruk yang akan menimpaku. Dari aku yang akan dicampakkan karena ia sudah bosan, atau mungkin orang tuanya yang melarang ia berhubungan denganku lalu mengirimnya ke luar negri dan hal buruk lainnya. Pikiran semacam itu bukan muncul tanpa sebab, Sehun dan aku dalam beberapa minggu terakhir mulai hilang komunikasi padahal kami berada di bawah atap yang sama (bulan kedua kami berpacaran, dia memintaku tinggal bersamanya).

 

Rasanya kesal, marah dan takut. Tidak munafik, aku takut ditinggalkan. Terkadang heran juga mendapati diriku rupanya bisa punya ketergantungan pada hal lain selain kopi. Ah oke, tentang siang itu… rupanya dia datang, wajahnya miskin ekspresi seperti biasa, dan perutku mendadak seperti menjadi lintasan roller coaster saat itu juga, saat ia berucap sudah tak bisa hidup seperti ini lagi denganku.

 

Tapi rupanya, pikiranku salah. Salah total. Oh Sehun, siang itu… menghampiriku yang sedang menudingkan pisau dengan tangan bergetar kearahnya lalu mengeluarkan sebuah kotak berisi cincin. Anak itu memintaku mendampinginya begitu saja. Dan sejak saat itu, hidup baru kami dimulai.

 

Terkadang Sehun bisa jadi apa saja bagiku. Dia seorang teman, saudara, dan… suami tentu saja. Dia berharga, dia hidupku, dia segalanya.  

 

“Nuna, kenapa bangun lagi?”

 

“Ani, aniya, tadi aku haus. Ayo tidur lagi.”

 

O, sepertinya aku membuatnya terbangun. Baiklah kukira cerita tadi cukup sampai disitu, aku tak mau membuat Jellyfishku tercinta ini khawatir lagi. Keureom, Jaljayong~~~

Love Confess?

“Heeshin nuna.” Oh Sehun melirik perempuan yang tengah duduk melahap burger di sampingnya, dan sudah dua minggu ini dekat dengannya.

“O, wae?” sahut Jung Heeshin setelah menyeka sisa mayones di pinggir bibirnya dengan tissu lalu menoleh pada pemuda berambut jamur yang dua tahun lebih muda darinya itu.

“Aku suka Nuna. Ayo kita pacaran.” cetus si cadel begitu saja. Heeshin tersedak kemudian memukul-mukul dadanya sendiri, sementara sang penyebab utama hanya menatapnya datar.

“Itu artinya apa?” tanya Sehun dengan alis terangkat.

“Artinya apa? Kau mengagetkanku tau.” jawab Heeshin tersengal, Sehun hanya terkekeh.

“Aku sungguhan. Ayo kita pacaran saja.” ulang si Oh begitu mantap, membuat Heeshin mengernyit.

“Aku lebih tua darimu loh Oh Sehun.”

“Aku tau.”

“Keureom?”

“Ya, ayo pacaran.”

“Anak ini,”

“Iya atau mau?”

“Pilihan macam apa itu?”

“Jawab saja ish cepat, sebentar lagi hujan ini.”

“Iya, aku mau.”

“Tidak menjiwai. Aku tidak percaya.”

“Ah jinjja, iya Oh Sehun iya…sayang.”

“Panggil lagi coba nuna.”

“Gerimis! Ayo pulang.” 

Then

“Terimakasih sudah menjemputku.” Heeshin mengangguk kikuk pada pemuda jangkung dengan rambut mirip jamur yang dicat coklat.

 

Adalah Oh Sehun, si cadel yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dari Jung Heeshin dan sudah satu pekan lebih bisa dikatakan dekat dengan Heeshin.

 

“Hehe, sama-sama nuna. Aku malah takut nuna menganggapku aneh.” Sehun menggaruk tengkuknya sambil mengayun langkah diikuti Heeshin yang berada di sisi kanannya.

 

“Kok aneh?”

 

“Hmm, mungkin saja nuna menganggapku stalker atau semacamnya.”

 

“Eish, jelek sekali pikiranmu.”

 

Keduanya lalu tertawa bersamaan dan selanjutnya keheningan yang mendominasi, ah tidak sepenuhnya hening karena ada suara derap langkah mereka berikut desau angin musim gugur yang menjadi musik tersendiri perjalanan pulang petang itu.

 

“Nuna.”

 

“Hm?”

 

“Besok dan seterusnya, aku akan jemput nuna terus ya.”

 

“O? A..ne ne, boleh.”