Do Kyungsoo melonggarkan dasi sementara tangan satunya terulur menekan bel beberapa kali hingga akhirnya terdengar suara bergemeretak dari balik pintu tanda Bang Min Ah sedang membuka kuncinya dan dalam hitungan detik munculah wajah cantik itu menyambut Kyungsoo.
“Ayo masuk! Aku sedang makan ramyun!” ajak Min Ah yang rambutnya dikuncir sembarangan itu lalu menarik lengan Kyungsoo begitu semangat.
“Kenapa tidak makan nasi?” tanya Kyungsoo setelah ia dan Min Ah tiba di depan meja makan kemudian duduk bersebelahan. Min Ah tak menjawab, ia justru menyerahkan sumpit pada Kyungsoo sementara tangan satunya sibuk mengaduk si ramyun yang masih mengepul uapnya dalam panci kuningan milik Kyungsoo.
“Aku maunya makan ini.” Min Ah kemudian menjawab cuek sambil meniup-niup ramyun yang sudah ia jepit dengan sumpit. Alih-alih memasukkan ke mulutnya, si berisik ini justru meyodorkannya ke mulut Kyungsoo yang setengah kaget membuka mulutnya. Min Ah tersenyum puas lalu kembali sibuk dengan ramyun untuknya sementara Kyungsoo asyik mengunyah.
“Bagaimana presentasimu?” tanya Min Ah sambil mengerjap cepat saat uap ramyun menyapa wajahnya ketika ia terlalu menunduk pada panci dan Kyungsoo tertawa saat melihatnya.
“Semuanya lancar. Terimakasih cat kukunya.” Sahut Kyungsoo kemudian melakukan kebiasaannya – mencubit pipi Min Ah. Bang Min Ah membulatkan bibirnya, bingung mengapa Kyungsoo tiba-tiba berterimakasih atas cat kuku padahal tadi malam si Do itu tampak begitu tak terima. Tak sampai Min Ah menyuarakan kebingungannya, Kyungsoo seolah tau apa yang di benak sahabatnya ini kemudian berdeham dan kembali berucap,
“Jadi pemilik perusahaan kosmetik yang akan kerjasama dengan kami itu, suka warna kukuku. Dan dengan begitu saja menyetujui kontrak. Konyol kan?”terangnya lalu terkekeh geli sendiri diikuti Min Ah disela kunyahannya.
“Dia wanita?” Min Ah memiringkan kepala, refleks tangannya terulur mengusap sudut bibir Kyungsoo saat ada sisa kuah tertinggal disana. Kyungsoo mengangguk santai seraya menggapai kotak tissu, menarik selembar isinya lalu gantian membersihkan ibu jari Min Ah yang sudah mengusap sisa kuah tadi.
“Hmm terkadang perempuan itu susah dimengerti memang. Hal yang menurut mata pria sepele, justru sebenarnya punya nilai besar di mata perempuan.” kata Min Ah sambil mengangguk-angguk. Kyungsoo tersenyum, matanya menatap teduh Hawa di depannya.
“Iya, aku tau.” sahut Kyungsoo paham.
“Kyungsoo-ya.” panggil Min Ah begitu ia selesai menghirup kuah ramyun langsung dari pancinya. Dan dijawab gumaman oleh sang karib.
“Kalau nanti, kau menikah….apa kau masih akan menjagaku? Seperti sekarang? Atau…lupa padaku?”
Kyungsoo mengangkat alisnya kemudian memiringkan posisi duduknya sedikit menghadap kearah Min Ah.
“Itu takkan terjadi.”
“Ha? Kau tak akan menikah? Kau mau jadi pendeta?”
“Bukan…, aku takkan menikah kalau kau belum menikah.”
“Apa-apaan itu.”
“Kalau kau sudah menikah aku baru bisa tenang.”
“Ayolah Kyungsoo, aku bukan puterimu.”
Min Ah merajuk, bibirnya mengerucut lalu beranjak malas dari duduknya dan membawa panci tadi ke bak cuci piring dan menaruhnya lesu disana. Kyungsoo yang melihat gerak-gerik Min Ah hanya mengulum senyum kemudian menyusul Si Cantik.
“Kalau kau yang meninggalkanku duluan, aku tak apa. Tapi kalau aku..meninggalkanmu, aku tak pernah memikirkannya Bang Min Ah.” ucap Kyungsoo sungguh-sungguh. Baginya Bang Min Ah ini sudah seperti bagian lain dari dirinya. Ia sadar betul tak ada siapapun yang dimiliki gadis ini selain dirinya.
Baiklah, mungkin Min Ah masih punya ayah. Tapi ia sudah menghapus sang ayah (walau sebenarnya tak ada hubungan darah yang bisa dihapus atau diputus) semenjak Sang Kepala Keluarga pergi pada wanita lain dan ibunya bunuh diri.
“Kau membuatku mau menangis Kyungsoo.” Min Ah menoleh, matanya berkaca-kaca dan bibir berkedut. Wajahnya tampak lucu sekarang dan Kyungsoo tak bisa menahan senyumnya.
“Kemarilah jelek.” Kyungsoo membuka kedua tangannya dan serta merta, Min Ah mendarat hangat di dadanya. Dipeluknya perlahan tubuh mungil Min Ah sambil sesekali menepuk pelan punggung si Bang yang rupanya sungguhan menangis itu.
“Sudah jangan menangis Bang Min Ah.”
“Kau yang membuatku menangis.”
“Ssh, sudah sudah. Nanti kubuang semua koleksi lipstik dan cat kuku–awww! Sakit! Kenapa mencubit! Aish.”
Fin.