Wajahnya keruh, sejak tadi ia hanya berdiri canggung di samping pintu masuk ruang kerja Tuan Besar Oh. Sesekali hawa cantik itu menggigit bibir bawahnya cemas lalu tangannya terangkat menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga.
Rasanya ingin tak mempercayai apa yang dilihatnya tadi malam, saat ia menguntit Huang Zi Tao sejak ia pulang kuliah dan rupanya pemuda itu juga bersama Sehun. Mereka pergi ke sebuah rumah hantu tak jauh dari kampus, kemudian pulang bersama. Dan saat itulah, Jung Soo Jung dibuat terbelalak saat melihat apa yang dilakukan dua lelaki itu dalam kegelapan yang tak begitu pekat. Bukan hanya Soo Jung yang melihatnya, ada pasang mata milik Kim Junmyeon–tangan kanan Tuan Besar Oh–yang menyaksikannya malam itu.
Klek…
Pintu terbuka, Junmyeon melangkah tenang keluar dari ruang kerja Tuan Oh setelah membungkuk sopan dan menutup pintunya pelan.
“O-oppa cerita semuanya pada abeonim?” tanya Soo Jung sambil menahan lengan Junmyeon takut-takut.
“Mm.” Junmyeon mengangguk lalu tersenyum tipis.
“Tentang… Sehun dan…temannya itu juga?” Soo Jung kembali bertanya dan kali ini suaranya hampir seperti bisikan. Jumyeon diam sejenak, tatapannya berubah sendu.
“Tidak. Aku…tak sampai hati menyampaikannya.” sang adam menggeleng. Soo Jung menghela nafas lega.
“Haruskan kita merahasiakannya? Aku tak mau abeonim semakin menyakiti Sehun.” lirih Soo Jung. Junmyeon hanya menghela nafas kemudian mengajak Soo Jung berjalan, mungkin mencari tempat yang lebih aman untuk membicarakan hal ini.
“Aku juga tidak tahu harus bagaimana.” gumam Junmyeon dan Soo Jung menatapnya nanar. Dua orang ini adalah orang yang benar-benar menyayangi Oh Sehun, yang dianggap keluarga oleh Sehun, dan sekarang keduanya dilanda dilema.
“Sudahlah, biar selanjutnya aku yang terus melapor pada sajangnim. Kau istirahatlah Soo Jung-a.” ucap Junmyeon menenangkan, tangannya mengacak pelan rambut Soo Jung, membuat gadis itu tersenyum kecil.
………………..
Langkah ringan si setan putih mendadak terhenti saat matanya menangkap sosok dua orang bersetelan jas hitam dan rapi berdiri di samping gerbang kampusnya. Dia kenal dua manusia itu.
Pengawal pribadi ibunya.
Sehun menghela nafas muak, lalu dengan tak acuh ia melengos melewati dua orang tadi namun terlambat, pundaknya keburu ditahan dan ia digiring pelan menuju sebuah mobil yang di parkir tak begitu jauh dari gerbang masuk.
“Nyonya mau bicara Tuan.” terang sang pengawal kemudian membukakan pintu mobil untuk Sehun. Tak ada perlawanan dari si Oh muda kali ini, ia hanya menghela nafas kemudian masuk ke mobil dan duduk menghempas di kursi penumpang.
Di sebelah ibunya.
“Sampai kapan kau mau bermain-main seperti ini Oh Sehun?”
“Aku sedang belajar, tidak bermain. Jadi ada apa menemuiku? Tumben…tidak sedang sibuk?”
“Ini serius.”
“Aku terdengar bercanda?”
“Berhenti bertingkah kekanakan, kau penerus keluarga ini, dewasalah.”
Sehun tertawa getir. Ia melirik wanita paruh baya di sampingnya ini kemudian menghela nafas.
“Iya, aku cuma dilahirkan sebagai penerus. Begitulah pandangan kalian terhadapku, tak lebih.”
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi putih Sehun. Nyonya Oh bernafas cepat dan nyaring, matanya berkilat marah menatap putera semata wayangnya yang kini hanya menunduk memegang pipinya yang memerah tanpa memasang ekspresi apapun.
“Sudah?” Sehun menoleh, menatap ibunya dingin. Yang ditampar memang pipinya, tapi yang terasa begitu sakit sekarang justru hatinya. Tanpa menunggu jawaban dari sang ibu karena sepertinya memang tak perlu, Oh Sehun membuka kasar pintu mobil lalu melangkah keluar dan sengaja menabrak kedua pengawal ibunya yang berdiri tegap di depan pintu mobil menghalangi langkahnya.
Masa bodoh dengan ibu dan pengawal tololnya itu, Sehun terus saja melangkah lebar dan tergesa memasuki kompleks universitas. Perasaannya campur aduk, semuanya berkecamuk. Kacau.
Bruak!
“Brengsek, pakai matamu kalau jalan!”
Langkah Sehun berhenti, ia berbalik dan orang yang meneriakinya tadi masih berdiri menantang di tempat yang sama. Sehun tak mengenalnya, mungkin mahasiswa dari jurusan lain atau staff, apalah terserah. Yang jelas sekarang ia sedang panas dan manusia di depannya sepertinya bisa jadi pelampiasan yang tepat.
“Kau yang brengsek!” geram Sehun lalu mempercepat langkahnya dan dalam hitungan detik, telapak kakinya sudah menghantam perut pemuda tadi hingga ia terpelanting. Tak cukup sampai disitu, Sehun menerjangnya tanpa peduli sekitar, menindih tubuh yang terbilang lebih berisi darinya itu kemudian meninjunya brutal.
Ricuh, para mahasiswa mulai berkumpul melihat kekacauan, beberapa dari mereka berusaha melerai namun sialnya, begitu Sehun berhasil dijauhkan, si gemuk tadi justru balas menyerang, ditendangnya kuat rusuk Sehun kemudian dihantamnya tulang pipi Sehun dengan kepalan gemuknya. Oh Sehun menggeram murka lalu berontak dan berhasil melepaskan diri.
“Sehun-a!”
Huang Zi Tao muncul menyeruak dari kerumunan lalu menahan pundak Sehun, menarik si kulit susu ke belakang punggungnya kemudian dengan sigap kakinya terangkat lurus dengan telapak nyaris menyentuh ujung hidung si gemuk yang rupanya hendak menyerang Sehun lagi.
Hening. Beberapa mungkin terpukau oleh aksi Tao, dan beberapanya lagi sibuk mengabadikan dengan ponsel.
“Bubar.” ucap Tao pelan sambil menurunkan kakinya perlahan. Ia menunduk sungkan saat merasa seluruh mata tertuju padanya saat ini, lalu dengan tak acuh ia menyeret Sehun menjauh.
……………….
“Pikirmu kau keren hah? Bendan.” omel Tao sambil menyodorkan kotak susu dingin sebagai kompres pada Sehun. (Sehun menolak dibawa ke ruang kesehatan tadi)
Tak ada jawaban dari manusia menyebalkan di sampingnya. Tao melirik sekilas, Sehun hanya menunduk lalu menempelkan kotak susu tadi di tulang pipinya sambil meringis.
“Ada apa sih sebenarnya?” tanya Tao lagi mulai bawel. Sehun masih bungkam, alih-alih menjawab, si setan putih itu kemudian menaruh kepalanya di pundak Tao.
“Jangan banyak tanya. Aku lelah sekarang ini.” gumam Sehun tanpa intonasi. Tao sedikit berjengit saat beberapa mahasiswa melewati mereka dan menatap heran. Si Cina cerewet berusaha tampak tenang, toh Sehun hanya sedang menyandar di pundaknya.
“Kau…bisa cerita padaku kalau kau punya masalah.”
“Ya, nanti.”
“Mm.”
Fin.