ENDING

Dan seperti hari-hari sebelumnya, ia menjalani rutinitasnya seperti biasa. Pergi ke pusat latihan beladiri tempatnya bekerja, terkadang juga menjadi pelatih freelance di sebuah Action School di akhir pekan. Begitulah keseharian Tao selama beberapa tahun terakhir, setelah menyelesaikan studinya. Seorang diri.

 

Continue reading

Five Years Later

“Tao bangun!” Hawa cantik itu duduk di tepi kasur Huang Zi Tao, menggoyang pelan tubuh Tao yang masih bergelut dengan selimut. Hanya geraman tak jelas yang keluar sebagai jawaban. Si Cantik yang surai hitam lembutnya dibiarkan tergerai itu tampak cemberut lalu mendengus. Tak menyerah, ia beralih ke sisi satunya, menyibak kasar selimut Tao hingga akhirnya membuat Pemuda Cina itu mau tak mau terbangun dan tentu saja, mengomel.

 

“A waegurae Soo Jung-aaa!” rutuk si mata panda tak rela sambil mengacak rambutnya sendiri. Sementara Jung Soo Jung – yang membangunkannya tadi tampak bersedekap dan menatap Tao dengan mata memicing.

 

“Kita akan menjemput Sehun hari ini, kau lupa dia pulang hari ini? kalau begitu tidur saja sana lagi.” Cibir Soo Jung lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Tao yang kemudian tunggang langgang menyusulnya keluar kamar. Namun saat kaki kanannya menyentuh lantai, jam weker Tao menjerit nyaring seolah mencegat Tao yang hendak mengejar Soo Jung keluar kamar. Sambil mengumpat tak jelas, ia kembali ke sisi tempat tidur.

 

 

Kriiingggg…..!

 

 

Benda sialan itu masih berkoar, padahal Tao sudah mematikannya. Kesal, si Huang yang kini sudah menjadi seorang pelatih di sebuah pusat beladiri di kota itu kemudian melempar si weker menyebalkan itu ke dinding hingga pecah dan menimbulkan suara gaduh yang entah kenapa membuatnya semakin pening pagi ini. Tao menggeram, mendadak pandangannya berputar-putar kemudian semuanya berubah gelap.

 

 

“Hah!” ia terbangun dari tidur dengan tangan yang terulur ke nakas mencengkram wekernya yang mulai retak di kaca depannya. Sambil meringis ia menegakkan tubuhnya lalu duduk menyandar di kepala kasur. Hal sebagus tadi, rupanya hanyalah mimpi, dan semuanya di kacaukan oleh benda yang masih berada dalam genggamannya. Tao mendesah pelan lalu dengan marah ia melempar si weker ke dinding di samping kasur, persis seperti yang dilakukannya dalam tidur tadi.

 

Entah sejak kapan mulanya, setiap kali Tao terbangun karena pekikan weker yang padahal ia setel sendiri sebelum tidur, emosinya tersulut seketika dan ya…seperti tadi, ia langsung melempar benda yang sebenarnya tak punya salah sama sekali itu ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Begitu seterusnya, dihancurkan kemudian beli lagi, kemudian dihancurkan lagi.

 

Alasannya?

 

Dia hanya tak ingin dipisahkan dengan setan putihnya. Apa tidak keterlaluan namanya, di kehidupan nyata ia sudah dipisahkan begitu kejam dengan orang terkasih, lalu dalam mimpi juga mau demikian? Yang benar saja. Dan pagi ini, saat salju pertama turun di tahun kelima musim dingin yang ia lalui sendirian, Huang Zi Tao tak hentinya merindukan sosok Oh Sehun. Setelah emosi pagi harinya mereda, ia meluncur turun dari tempat tidur, melangkah terhuyung menuju jam wekernya yang sudah tak berbentuk, kemudian memungut dan membuangnya ke tempat sampah di dapur. Langkahnya berhenti sejenak di depan pintu kamar mandi lalu memandang sendu bangku kecil yang sering ditempati si bajingan tampan Oh Seun saat menungguinya mandi. Tao menghela nafas panjang, kemudian duduk di atasnya dan diam beberapa saat.

 

 

“OH SEHUN KAU MASIH DISITU KAN?!”

 

 

“KALAU KAU BERTANYA LAGI, AKU AKAN MASUK DAN MENEMANIMU DI DALAM HUANG ZI TAO!”

 

 

Ia tersenyum sendiri saat mengenang percakapan risuh antara dirinya dan Sehun pagi itu, saat pertama kalinya ia menjadi seorag idiot yang tak tahu malu dengan menyeret Oh Sehun dari flatnya untuk menungguinya mandi. Tao menerawang kemudian menghela nafas panjang. Semua hal mengesalkan yang sebenarnya ia anggap momen terindah itu masih berjejer rapi di pikirannya, tak ada yang terlupa satupun. Bahkan saat Sehun diam-diam mengecup keningnya dalam perjalanan pulang di malam tahun baru Cina waktu itu. Susah payah si Cina cerewet ini berusaha agar matanya tak terbuka dan tetap berpura-pura tertidur.

 

 

Dan malam itu, dia semakin jatuh cinta pada tetangganya yang sialan. Tetangganya yang juga sama-sama Pria seperti dirinya. Hanya saja terlalu sulit untuk menunjukkannya. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah mengomel dan mengumpat.

 

 

 

Fin.

Hope

Song Qian hanya bisa terdiam melihat Tao yang sejak tadi menangis sesegukan di depannya. Ini memang bukan kali pertama ia melihat Tao menangis, karena sebelumnya ia dan Tao sering menangis bersama saat menonton drama. Tapi kali ini berbeda, tak pernah ia melihat Tao sehancur ini, dan tangisnya benar-benar berbeda dari biasanya. Seperti ada yang menyesakkan dadanya, membuatnya tersedu begitu pilu.

“Sudah Tao-a.” bujuk Qian pelan sambil mengusap belakang kepala Tao yang masih menelungkup di depannya. Sekilas ia bertukar pandang dengan Zhoumi suaminya yang berdiri menyandar di ambang pintu dapur. Nyaris seperti Qian, matanya menatap Tao sendu.

“Dia pergi..karena aku jie. Dia kembali ke dalam tekanan orang tuanya, karena..aku.” dengan pengucapan yang tak begitu jelas karena isaknya yang tak berhenti, Tao berkata. Wajahnya memerah dan matanya bengkak. Qian tak menjawab, tangannya menggapai kotak tissu kemudian menarik beberapa lembarnya dan dengan lembut mengusapnya ke wajah sembab Tao. Sementara Zhoumi bergerak menuju kulkas dan mengambilkan segelas air untuk Tao.

Huang Zi Tao mendadak benci dirinya sendiri setelah mendengar penuturan Soo Jung yang menemuinya sepulang kuliah tadi. Sehun yang rela kembali ke rumah orangtuanya demi agar Beasiswa Tao tak diputus begitu saja. Sehun yang bersedia berada dibawa doktrin keluarganya agar mereka tak mengusik kehidupan Tao.

“Kalau berjodoh, pasti bertemu lagi.” hibur Zhoumi sambil meletakkan gelas berisi air di depan Tao. Entah ia sungguh-sungguh dengan ucapannya atau hanya sekedar membesarkan hati Tao saat ini.

“Tao, dia sudah berkorban untuk hidupmu. Artinya kau harus jalani hidupmu yang sekarang dengan baik, dia ingin kau hidup tenang.” Qian mulai angkat bicara. Tangannya menggenggam tangan Tao lembut sementara suaminya menepuk pelan pundak Tao, mendukung ucapan istrinya.

“Aku benar-benar hidup kalau dia bersamaku.” lirih Tao dengan suara bergetar.

“Jangan cengeng Zi Tao. Mana tau kalau tak dicoba.” seloroh Zhoumi yang masih memegang pundaknya. “Kau hanya perlu lanjutkan hidup, bukan berarti melupakannya. Kau berhak berharap, tapi jangan diam di tempat.” kembali yang tertua di ruangan ini berucap.

Tao mendongak, menatap Zhoumi dengan mata bengkaknya. Ia mencerna betul-betul ucapan Gegenya barusan kemudian menghela nafas panjang. Di saat bersamaan ingatannya memutar ulang ucapan Sehun malam itu.

‘Kau harus tahu, aku tidak meninggalkanmu’

Muncul denyut baru di nadinya, sebuah harapan yang sepertinya akan terus bertumbuh.

Dia akan menunggu Oh Sehun. Dia akan menunggu Setan Putihnya itu kembali.

Fin. 

Farewell

“Pulang?” tanya Tao pada Sehun dari tepi kasur dan terdengar tak rela. Yang ditanyai hanya tersenyum tipis dan menyelesaikan kegiatan berpakaiannya.

“Mm, kenapa? Masih ingin bersamaku ya?” iris si Oh sialan mengerling Tao nakal lalu kembali duduk di sampingnya. Sekilas ada binar pilu dari tatapan si setan putih saat tangannya mengusap lembut rambut Tao.

Huang Zi Tao mencibir, tapi memang sebenarnya ia ingin tetangganya ini tetap tinggal disini. Bersamanya.

“Hei Kungfu Panda. Aku cuma bilang ini satu kali, jadi dengarkan baik-baik.” cetus Sehun setelah menyesap bibir bawahnya kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Kalau setelah ini, kau tak melihatku lagi. Kau harus tahu, aku tidak meninggalkanmu. Mengerti? Kalau tidak, berarti kau idiot.”

Digenggamnya erat tangan Tao beberapa saat sebelum akhirnya si setan putih ini beranjak, mengacak rambut Tao lalu melangkah keluar kamar.

“Sehun-a,”

Hatinya mencelos saat Tao memanggil namanya. Pemuda berkulit susu ini kemudian menghentikkan langkah tepat di ambang pintu dan berbalik, matanya terasa panas dan pandangannya mulai buram. Saat matanya tak sengaja mengerjap, Sehun langsung menunduk, mengusap cepat airmata yang bergulir sebelum Tao menyadarinya.

“Apa? Mau lagi? Nanti kau tak bisa jalan.” si tengil berusaha melucu, namun leluconnya gagal karena Tao tak menunjukkan ekspresi apapun. Sehun berdeham kemudian menelan ludahnya kuat-kuat, menghalau nyeri yang mulai menggerogoti hatinya.

“Besok tidak kuliah?”

Pertanyaan Tao menohoknya telak. Ia bahkan rasanya enggan memikirkan hari esok. Sehun meringis lalu mengangkat bahunya.

“Tidak. Aku berhenti, ah…aku pulang dulu ya. Junmyeon Hyung sudah jemput. Bye!” si jangkung Oh ini lalu pamit tergesa sambil berlagak sibuk dengan ponselnya dan menghilang dari balik pintu kamar Tao yang tak ditutup rapat.

……………………..

Dan sejak malam itu, seperti yang dikatakan oleh Oh Sehun. Ia benar-benar tak pernah muncul lagi depan Tao, bahkan sekedar kabarnyapun tak pernah Tao dapat. Nyaris semusim berlalu dan Huang Zi Tao benar-benar seorang diri sekarang. Tak ada lagi celetukan menyebalkan, sentuhan seenaknya, dan segala macam bentuk gangguan yang sebenarnya ia nikmati dari si bendan Oh. Terkadang, ia masih suka berdiam diri di depan pintu Sehun, menyenangkan dirinya sendiri dengan membayangkan kalau sosok yang suka semena-mena itu masih berada disana, di balik pintu itu.

Tapi tetap saja, itu tak membantu, tak menolong, secuilpun. Kenyataannya ia timpang tanpa pemuda Korea itu, selalu ada yang kurang saat ia menarik dan menghela nafas juga membuka mata di pagi hari.  

Last Day…

Sepasang tubuh polos itu saling menempel satu sama lain. Membagi panas yang terus menguar dan mereka ciptakan sendiri sejak tadi. Oh Sehun, terus mendekap Tao yang sama-sama berbaring menyamping memunggunginya begitu posesif. Sesekali ia mengecup pundak, tengkuk, dan garis punggung Tao yang telanjang.

Harusnya waktu berhenti saja, biar ia bisa terus bersama si setan putih ini. Begitulah Huang Zi Tao berharap dalam hati. Matanya terpejam saat Sehun mengecup begitu dalam pundak dan ceruk lehernya. Tangan Sehun yang sejak tadi bertaut dengan tangannya ia tarik setinggi dagu, lalu mengecup singkat buku-buku jari Sehun sambil menggeliat membenahi posisi, semakin merapat pada tubuh di belakangnya.

“Tao.” panggil Sehun serak, dan hanya dijawab gumaman singkat oleh Tao yang kemudian menoleh sekilas.

“Aku mencintaimu.” ucapnya begitu tulus. Tao tak mengerjap, matanya menatap Sehun teduh lalu tersenyum, sedikit diangkatnya kepalanya kemudian menyentuh ujung hidung Sehun dengan ujung hidung mancungnya.

“Aku juga.” jawab Tao begitu manis. Sehun mengeratkan pelukannya lalu membenamkan wajah di leher Tao.

“Tao…,”

“Ya?”

“Maaf…,”

“Untuk?”

Sehun menggeleng singkat. Ia tak punya cukup kesanggupan untuk mengatakan pada Cina cerewetnya ini kalau setelah ini mereka takkan bertemu lagi. Kalau hari ini adalah hari terakhir mereka bersama. Dan yang bisa dilakukan si setan putih ini hanyalah memeluk Tao, terus memeluknya dan berharap bisa terus seperti ini….

Fin

Tamu Tao (lagi)

Junmyeon membungkuk sopan melepas kepergian Tuan dan Nyonya Oh ke Jepang hari ini. Ia hanya tersenyum kecut saat mereka berpesan kalau keduanya mempercayakan Sehun sepenuhnya pada dirinya dan Soo Jung. Dan begitu mobil sudah meninggalkan pekarangan kediaman Oh, Junmyeon menghela nafas panjang kemudian berbalik masuk dan berjalan menuju taman belakang tempat Sehun menyendiri setelah sarapan tadi.

“Sehun-a.” panggil Junmyeon dan Sehun hanya menoleh lesu.

“Ayo ke rumahmu.” ucap Junmyeon lagi begitu ia berada di samping Sehun lalu duduk di samping pemuda yang sudah ia anggap adik itu.

“Maksud Hyung?”

“Iya, rumahmu sendiri.”

Manik mata si tunggal Oh membulat, ia menatap Junmyeon tak percaya sejurus kemudian, senyumnya merekah lebar. Pertama kalinya Sehun tersenyum semenjak ia menginjakkan kaki di rumahnya ini kemarin.

“Dan Hyung, pergi kencan lah dengan Soo Jung. Aku tahu kalian saling suka.”

Baiklah, si setan putih sudah kembali ke mode semula. Tengil seperti biasa.
…………………..

Klek.

Tao menutup pintu dibarengi helaan nafas panjang. Seolah menjadi kebiasaan, ia menatap pintu di sebelahnya dan terdiam beberapa saat, hingga kemudian suara derap langkah dari tangga mengalihkan fokusnya.

“Mau pergi? Memangnya sudah mandi?” suara itu membuat darah Tao berdesir, ia menoleh dan sosok bajingan tampan kesayangannya itu kini benar-benar ada di depannya, tersenyum miring dan tampak menyebalkan seperti biasa. Tanpa sadar si Cina cerewet menghela nafas lega.

Rasanya seperti bom yang siap meledak kapan saja. Tak tergambar betapa bahagianya Sehun saat ia bisa melihat Kungfu Pandanya ini. Tadinya ia hendak langsung memeluk Tao, namun urung saat tetangga di ujung tampak keluar dan bersiap mengantar anaknya berangkat sekolah.

“Ayo, masuk.” Tao kembali membuka pintunya lalu memberi isyarat agar si kulit susu mengikutinya.

Hening sejenak, keduanya terdiam di balik pintu yang sudah tertutup. Sehun tersenyum hangat dan Tao tak melihatnya karena menunduk. Diacaknya lembut rambut Tao kemudian merengkuh si Kungfu Panda ke dalam dekapannya. Mendekapnya erat.

“Bogoshipppeo.” kemudian Tao yang berucap. Sudah tak ada gengsi lagi, semuanya kalah dengan rindu dan sayangnya pada si setan putih. Kedua tangannya perlahan terangkat, membalas pelukan Sehun.

“Aku apalagi.” bisik Sehun lalu menciumi samping kepala Tao penuh sayang.

………………….

“Untukmu.” Junmyeon menyerahkan sekotak coklat pada Soo Jung yang duduk di bangku penumpang di sampingnya. Yang diberi coklatpun menerima dengan senang hati.

“Tumben oppa belikan coklat? Rasanya terakhir kali aku dapat coklat dari oppa waktu masih sekolah, itu juga harus berbagi dengan Sehun.” celoteh Soo Jung yang mulai sibuk membuka kemasan. Junmyeon hanya tersenyum hangat, ia melirik si cantik di sampingnya kemudian mendaratkan tangannya di puncak kepala Soo Jung.

“Soo Jung-a.” panggilan dari Junmyeon, membuat Soo Jung menghentikkan kegiatannya sejenak kemudian menoleh.

“Hm?”

“Ayo, hidup lebih bahagia lagi setelah ini.” ucap Junmyeon sungguh-sungguh, matanya menatap lurus ke manik mata Soo Jung. “Aku mencintaimu.” lanjutnya lagi. Akhirnya, yang sudah sekian tahun ini tak bisa ia sampaikan ke Soo Jung, dapat dikeluarkannya juga.

Tak ada jawaban dari Jung cantik di depannya. Gadis itu hanya tersenyum haru kemudian langsung memeluk Junmyeon.

…………………..

“Kau punya banyak coklat? Whoah.” sorak Sehun yang tengah berjongkok di depan kulkas Tao dan mengobrak abrik isinya.

“Dari kemarin dapat terus.” jawab Tao enteng dari ruang tengah. Sehun hanya mengangguk-angguk kemudian mengambil salah satu dari sekian banyak jejeran coklat dari kulkas.

Sambil merobek kemasan coklat di tangannya, si Korea tengil duduk bersila di samping Cina cerewet lalu menggigit kecil ujung coklatnya dan melumatnya hingga lumer di lidahnya sendiri.

“Hei hei, kemari.” Sehun menepuk cepat pundak Tao, dan begitu kekasihnya itu menoleh dengan cepat ia menerkam bibir Tao, melesakkan lidahnya ke rongga mulut Tao, membagi coklat tadi dengan si panda berisik yang membelalak kaget namun detik berikutnya, ia justru tersenyum samar dengan mata mulai terpejam.

Fin 

Blue Day

Sehun tak kembali. Setan putih itu bahkan tak tampak di kampus. Dan Huang Zi Tao benar-benar merasa tak lengkap, seperti keping puzzle yang tadinya sudah tersusun rapi kemudian hilang satu. Mungkin berlebihan, karena ini baru sehari ia lewati tanpa ‘gangguan’ dari Sehun, hanya saja ia sudah terlalu terbiasa dengan keberadaan Oh Sehun di sekitarnya. Pemuda Cina itu lebih banyak bungkam, petang ini sepulangnya ia dari kampus, Tao kembali berharap si kulit susu sialan itu tiba-tiba muncul, merecokinya seperti biasa. Merangkulnya seenaknya kemudian melangkah pulang bersama.

Tapi tak terjadi. Yang ada sekarang hanyalah Tao seorang diri, melangkah lesu menaiki tangga. Dan yang pertama kali ia keluarkan dari saku celananya begitu ia mencapai lantai dua bukanlah kunci pintunya, tapi kunci pintu di sebelahnya. Kunci Oh Sehun.

Sejenak Tao menatap sendu pintu tetangganya. Tanpa sadar mematung disitu, berharap benda itu akan terbuka dan sosok menyebalkan Oh akan muncul dari baliknya.

Sakit. Sakit sekali, semakin Tao berharap dan kenyataannya justru terbalik, rasanya hatinya seperti diiris perlahan.

………………….

“Kau takkan meneruskan studi disitu lagi. Seni bukanlah hal yang semestinya kau tuju. Kami sudah tentukan universitas yang cocok untukmu.” cetus Tuan Oh dengan tatapan mengarah lurus pada putera tunggalnya yang duduk diam di seberang meja kerjanya.

Sehun tak menjawab. Bibirnya mengatup dan rahangnya menegang. Dibalasnya tajam tatapan sang ayah lalu menghela nafas panjang.

“Terserah.” jawabnya ketus kemudian bangkit dan tanpa permisi melangkah keluar ruangan sang kepala keluarga Oh. Begitu menutup kuat pintu, ia menyandar lemas di dinding koridor yang sunyi, sebelah tangannya yang terkepal terangkat memukuli dadanya sendiri yang terasa sesak.

“Sehun-a.” Soo Jung berhenti di depan Sehun, menatap pilu pemuda di depannya yang tengah merunduk memukuli dadanya. Diusapnya pelan pundak Sehun yang bergetar hingga akhirnya si tunggal Oh itu mendongak, menatapnya dengan mata memerah. Tanpa berucap apapun, Sehun kemudian memeluk Soo Jung lemas.

“Himnae…Himnaeyo. Maaf aku dan Junmyeon tak bisa berbuat apa-apa. Maaf.” lirih Soo Jung sambil menepuk lembut punggung Sehun. Helaan nafas Sehun terdengar nyaring, sejurus kemudian ia melepas pelukannya dan menatap Soo Jung nanar.

“Dia tak bisa sendirian. Dia tak bisa mandi jika tak ada yang menunggunya di depan pintu. Dia terkadang tak mau makan jika sendirian, siapa yang akan membawanya pulang jika dia pergi minum sendiri? ” papar Sehun dengan suara bergetar dan terkadang tercekat.

“Otokkhae Soo Jung-a? Na otokkhae?”

Fin

Mian

“Baik, aku pulang. Tapi jangan pernah mengusiknya.”

 

 

Oh Sehun duduk termangu di teras belakang rumahnya, tangannya terus-terusan mengusap wajah keruhnya dan terkadang menjambak frustasi rambutnya sendiri. Hatinya tercabik jika mengingat pembicaraannya dengan kedua orangtuanya tadi. Si setan putih yang biasanya bisa berbuat apapun semaunya ini, sekarang justru tak bisa berbuat apa-apa. Ucapannya di ruang kerja sang ayah tadi kembali berdengung di kepalanya, hanya itu yang bisa ia lakukan. Demi Tao… Huang Zi Taonya.

 

“Sehun-a.” Junmyeon melangkah pelan menghampiri Sehun lalu duduk di samping si jangkung. Perlahan tangannya mengusap pundak Sehun dan terkadang menepuknya pelan. Di sisi yang satunya, Soo Jung muncul lalu ikut duduk di samping Sehun, matanya menatap nanar Oh Sehun yang tak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan sekedar memandang dua orang yang mendatanginya ini.

 

“Kalian penghianat.” Begitu datar Sehun berucap. Tangannya menepis kasar tangan Junmyeon yang menyentuh pundaknya. Nafasnya berhembus cepat, dan rahangnya tampak menegang. Baik Junmyeon maupun Soo Jung sendiri tak ada yang buka mulut, mereka paham betul perasaan si tunggal Oh ini sekarang.

 

“Anggaplah demikian, karena kamipun sama tak berdayanya denganmu Sehun-a.” ucap Junmyeon kemudian, kepalanya menoleh memandang sedih Sehun.

 

“Mianhae.” Lirih Soo Jung yang sejak tadi hanya berdiam lalu meraih tangan Sehun, dan menggenggamnya lembut. Tak ada jawaban dari Sehun, tubuhnya semakin merunduk dan urat-urat di sekitar lehernya tampak menonjol, dengan gerakan yang tersendat ia lalu menoleh pada kedua orang di kanan dan kirinya bergantian. Dadanya sakit, sakit sekali dan ia tak tahu harus bagaimana lagi. Tangannya membalas genggaman Soo Jung sementara tatapannya terpaku pada Junmyeon yang kemudian mengusap puncak kepalanya. Tanpa Sehun sadari, airmatanya jatuh bergulir.

 

 

“Aku mencintai Tao. Hanya itu.” Ia menggumam sebelum akhirnya terisak miris di depan Junmyeon dan Soo Jung.

 

…………………………………………

 

Si Cina cerewet ini masih berada di tempat Sehun, duduk mendekap lutut di atas sofa, menatap kosong layar televisi yang tak dinyalakan. Terkadang, saat kantuk mulai menyambanginya, ia menoleh cepat kearah pintu masuk dan berharap setan putihnya muncul dengan tawa menyebalkan seperti biasa. Tapi nihil, tak ada suara gemeretak yang mengiris kesunyian tanda sang tuan rumah sudah pulang. Hanya ada Tao yang diam menunggu kepulangan Sehun. Dan saat si Kungfu Panda hendak beranjak dari sofa, ponselnya berdering. Wajah suntuknya berubah sedikit cerah melihat identitas penelfon yang ditampilkan layar ponselnya.

 

Bendan Oh Calling….

 

“Yeoboseyo?” sapa Tao sudah yang sudah tak bisa menyembunyikan betapa senangnya ia atas panggilan Sehun.

 

“Tao-a? kau masih di rumahku?”

 

“Mm, hei…bagaimana dengan orangtuamu tadi?”

 

“Baik-baik saja kok. Kau tidurlah, malam ini aku tak pulang. Menginap.”

 

“Ne. ngomong-ngomong suaramu kenapa?”

 

“Ha? Ah… mau flu. Sudah sana tidur, tidur di kamarku saja. Aku tahu kau merindukanku.”

 

“Cih. Ya sudah, kau juga tidur sana.”

 

“Iya…, eh Tao,”

 

“Mwo?”

 

“Wo ai ni.”

 

“Na do. Bendan Oh.”

 

 

Fin.

 

It’s Started

Tak seperti biasanya saat dua pemuda berbeda bangsa ini berada dalam ruang yang sama. Kali ini, tempat tinggal Sehun. Hanya saja sejak tadi justru kesunyian yang meliputi. Keduanya berdiri berhadapan, Sehun menyandar di pinggiran meja makan sementara Tao bertumpu di bak cuci piring. Dua-duanya bungkam, sesekali saling pandang kemudian membuang nafas.

Kejadian mengejutkan tadi malam benar-benar diluar dugaan si tunggal Oh. Rasanya semua bersatu padu menamparnya tadi malam. Junmyeon dan Soo Jung, dua wajah itu muncul di belakang sosok ibunya yang tiba-tiba datang ke tempat tinggalnya.

Dia dikhianati. Begitulah Sehun menyimpulkan sepihak.

Flashback

Sejak tadi ia terus saja berjalan mondar-mandir di depan gerbang masuk gedung tempat tinggalnya yang masuk dalam kelas menengah. Dia menunggu Kungfu Pandanya pulang, apalagi memang. Terkadang ia berargumen dengan dirinya sendiri, kemudian mengumpat begitu melihat waktu yang ditunjukkana arlojinya ditambah Huang Zi Tao yang tak kunjung muncul juga batang hidungnya. Dan diluar sepengetahuan setan putih Oh, sejak ia keluar tadi gerak-geriknya sudah diawasi oleh beberapa pasang mata di balik kaca mobil yang di parkir di belokan pertama tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.

Siapa lagi kalau bukan orang-orang dari kubu orang tua Sehun. Dan seperti yang sudah Nyonya Oh putuskan kemarin, ia akan bertandang melihat tempat tinggal puteranya walau tak secara langsung dan terang-terangan. Dan Jung Soo Jung yang duduk di samping Nyonya Oh hanya bisa menunduk meremas lututnya cemas, sesekali ia mencuri pandang ke spion depan, pandangannya bertemu dengan sorot teduh milik Junmyeon. Tapi tetap saja ia tak merasa lebih baik.

Si Huang berisik yang sejak tadi dinanti akhirnya datang juga, ia tampak kewalahan dengan dua kantung plastik berisi coklat dan beberapa kotak kado yang ia sendiri tak mengerti kenapa bisa mendapatkannya. Ini bahkan bukan ulang tahunnya. Baiklah, singkatnya…semenjak aksi memukau Tao tempo hari saat ia menolong Sehun, si Cina yang mulanya dianggap biasa saja oleh para mahasiswi ini mendadak naik pamornya, katakanlah menjadi setara dengan Sehun dan ia sendiri tak menyadari hal itu.

“Kau belanja? Itu kado valentine untukku?” tanya si Korea tengil begitu Tao semakin dekat kearahnya. Tao mengernyit, ah baiklah….ia ingat sekarang, sebentar lagi valentine. Jadi? barang-barang ini adalah kado valentine untuknya begitu? Ia bahkan mendapatkannya lebih cepat.

“Kepalamu. Aku dapat dari gadis-gadis. Bisa bantu bawakan?” cibir Tao kemudian mengangkat lebih tinggi bungkusan di tangan kirinya yang mulai pegal.

“Cium aku dulu baru aku bantu.” goda si setan putih sambil menaikkan sebelah alisnya. Tao mengumpat pelan, lalu mengayun kakinya hendak menendang Sehun namun meleset.

“Kau tidak tahu tempat ya Oh Sehun? Sinting.” gerutu Tao lalu bergegas melewati Sehun dengan wajah memerah. Sehun hanya tertawa kemudian kepalanya menoleh kesana kemari seolah tengah memastikan keadaan dan benar saja, detik berikutnya ia meraup wajah Tao kemudian mengecup bibir manis si Cina bertubi-tubi. Ini kesempatan bagus karena kedua tangan Tao sedang memegang barang, sehingga tak ada perlawanan berarti.

“Beginikah hidupmu Oh Sehun?” suara seorang wanita menginterupsi aktifitas manis Sehun atas Huang Zi Tao. Raut mukanya berubah pias, ia bahkan tak mengerjap. Sulit dipercaya tapi sekarang ibunya muncul di antara mereka, di belakang Tao yang sepertinya masih belum memahami apa yang terjadi.

“Apa yang omoni lakukan disini?” tanya Sehun dingin. Belum cukup ia dibuat terkejut atas kedatangan ibunya, kini muncul lagi dua wajah yang tak pernah ia sangka-sangka.

Jung Soo Jung dan Kim Junmyeon. Saudaranya, setidaknya begitulah Sehun menganggap mereka hingga detik ini.

Nyonya Oh tak menjawab, ia melangkah cepat hingga ketukan heels sepatunya memecah kesunyian. Ditamparnya kuat wajah Sehun berulang-ulang, dan sejurus kemudian tangisnya mulai terdengar namun tangannya tak berhenti memukuli Sehun yang diam tak melawan.

Tao yang melihat kejadian tersebut rupanya tak bisa tinggal diam, ditangkapnya cepat pergelangan tangan Nyonya Oh dan masa bodoh dengan kado-kado konyol yang terhempas ke tanah.

“Hen…tikan. Kumohon.” pinta Tao dengan nafas tersengal. Nyonya Oh beralih menatap Tao dengan airmata berlinang kemudian menyentak kasar tangannya hingga terlepas dari genggaman Tao.

“Kau sudah menghancurkan puteraku.” geram wanita itu penuh murka. Tao tak dapat menjawab. Sementara Soo Jung yang berdiri di belakang Nyonya Oh hanya bisa menekap bibirnya menahan tangis dengan Junmyeon yang merangkulnya sedih.

“Jangan bicara sembarangan. Sebelum bertemu dengannya, aku memang sudah hancur.” Sehun kemudian buka suara. Tatapan tajamnya menghunus ibunya langsung kemudian beralih ke Junmyeon dan Soo Jung sebelum akhirnya ia dengan tak acuh menggandeng Tao masuk.

End Of Flashback.

“Mianhae.” permintaan maaf Tao memecah keheningan. Sehun mengangkat wajah, menatap si Kungfu Panda datar.

“Kau bahkan tak salah apapun.” jawab Sehun sembari tersenyum tipis kemudian mengucap puncak kepala Tao. Baru saja ia menegakkan badan hendak memeluk Tao, tiba-tiba ponselnya berdering dan ia tahu betul siapa penelfonnya.

“Yeoboseyo.” sapa Sehun datar.

“Tinggalkan hidupmu yang sekarang atau kami akan mencabut beasiswa teman Cina mu itu.”

Sehun terdiam. Ia menatap Tao yang berada di depannya dan sebelah tangannya mengepal kuat. Brengsek, brengsek, brengsek. Ia mengumpat dalam hati.

“Pulanglah ke rumah sekarang, kita harus bicara.”

Sambungan terputus, tangan Sehun menggantung lemas di samping tubuhnya, ia terdengar menghela nafas berkali-kali dan tatapannya kosong.

“Aku, harus bertemu orang tuaku sekarang.” papar Sehun setelah berdeham beberapa kali. Tanpa memandang Tao, si kulit susu ini kemudian berbalik, menyambar jaketnya dari gantungan dan mengenakannya tergesa disela langkahnya menuju pintu depan.

Dan sebelum Sehun membuka pintu, Tao tiba-tiba menarik pundak Sehun, menghempaskan tubuh ramping itu ke dinding kemudian menghimpitnya dengan tubuhnya sendiri sebelum akhirnya bibirnya melahap cepat bibir Sehun. Ia terus melumat bibir yang biasanya selalu menjadi pemulai cumbuan itu sementara kedua tangannya mencengkram kuat kerah jaket Sehun lalu beralih ke tengkuk si setan putih dan menekannya seduktif.

“Aku mencintaimu Tao.” geram Sehun saat Tao menjauhkan bibirnya mencari oksigen. Nafas mereka saling berkejaran belum lagi dengan detak jantung yang sama-sama mendadak brutal.

Huang Zi Tao menatap lekat manik mata Sehun yang berada persis di depannya, seolah mengatakan betapa ia bisa gila jika setan putih ini tak bersamanya. Dan sepertinya Oh Sehun menangkap makna tatapannya karena selanjutnya, bibir mereka kembali bertaut, saling mencumbu penuh cinta hingga akhirnya sampailah dimana kontak memabukkan itu benar-benar harus di akhiri.

“Aku pergi dulu.” pamit Sehun sambil mengecup dalam kening Tao lalu mulai membuka pintu dan menghilang dari baliknya. Sepeninggal Sehun, Tao hanya bersandar lemas di dinding dekat pintu masuk, sebelah tangannya mengacak frustasi rambutnya sendiri lalu turun mengusap wajahnya kasar. Pelan-pelan ia mendudukkan diri di lantai, masih di tempat yang sama kemudian menekuk lutut dan di dekapnya rapat. Wajahnya menunduk ia sembunyikan diantara lengan, sementara pundaknya bergetar pelan seiring dengan isakan lirih yang mulai terdengar.

Fin